Helicopter Parent? Di Indonesia istilah ini memang mungkin belum begitu dikenal oleh masyarakat, namun di luar, khususnya di negara-negara barat seperti Eropa dan Amerika Serikat Helicopter parenting atau Helicopter Parent tengah menjadi pergunjingan hangat di antara orang tua, karena berpengaruh besar pada perkembangan dan psikologi anak. Helicopter sendiri merupakan istilah yang pertama kali digunakan oleh Dr. Haim Ginott pada bukunya, Parents & Teenagers, di tahun 1996. Istilah ini mengacu pada style parenting orang tua yang terlalu fokus dan ikut campur pada kehidupan anak-anaknya. Mereka diibaratkan selalu “melayang-layang” dan membayang-bayang di dekat anak-anaknya, seperti Helikopter.
Ann Dunnewold Ph.D, seorang psikolog sekaligus penulis buku, mendeskripsikan Helicopter parent sebagai orang tua yang terlibat dalam kehidupan anak-anaknya, namun dengan cara yang berlebihan, seperti terlalu mengontrol, terlalu melindungi, dan bahkan selalu menuntut anaknya untuk sempurna. Cara yang berlebihan ini biasa dilakukan pada semua aspek kehidupan anak-anaknya, mulai dari memilihkan teman permainannya, hingga mengonfrontasi guru ketika nilai anaknya rendah. Intinya mereka tidak membiarkan anak-anaknya menghadapi permasalahan sendiri.
Meski kebanyakan helicopter parent awalnya memiliki tujuan yang baik, namun pada akhirnya hal ini bisa membuat dampat yang buruk bagi anak-anak. Beberapa dampak buruk yang bisa terjadi misalnya saja:
Kurangnya kepercayaan diri
Masalah utama dari helicopter parenting adalah hal ini bisa saja justru bisa menjadi bumerang bagi anak, terutama dalam hal kepercayaan diri. Sang anak akan merasa bahwa orangtua tidak percaya pada diri mereka, yang akhirnya bisa berakibat pada hilangnya kepercayaan diri pada diri mereka sendiri.
Tidak terbentuknya kemampuan untuk menghadapi masalah
Ketika orang tua selalu turun tangan ketika anak mengalami masalah, bahkan turut campur dalam menyelesaikannya, anak jadi tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi sutau permasalahan dalam hidupnya sendiri. Anak bisa memiliki pemikiran bahwa dirinya tidak akan sanggup menghadapi suatu masalah tanpa ada orangtua di sampingnya. Dengan kehidupan yang bisa dibilang bebas dari masalah dan kegagalan, anak juga jadi tidak bisa tahu dalam menghadapi kesedihan maupun kegagalan dalam hidupnya.
Rasa cemas berlebihan dan depresi
Seuatu penelitian yang dilakukan oleh Univesity of Mary Washington menunjukkan bahwa anak-anak dengan helicopter parent ternyata memiliki tingkat kecemasan (anxiety) dan depresi yang tinggi.
Terbiasa mendapatkan apapun yang dinginkan
Anak-anak yang sedari kecil selalu mendapatkan kemudahan dalam menjalankan pendidikan maupun kehidupan sosialnya berkat campur tangan orang tua, cenderung tumbuh menjadi anak yang terbiasa mendapatkan apapun yang diinginkannya tanpa mau bekerja keras.
Tidak memiliki kemampuan dasar dalam kehidupan
Orangtua yang selalu mengerjakan semua hal untuk anak-anaknya seperti mengikatkan tali sepatu, mencucikan baju, mencucikan piring, atau menyiapkan makan siang meski sang anak telah mampu mengerjakannya sendiri akan membuat sang anak tidak dapat mempelajar hal-hal dasar tersebut sendiri.
Selalu menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya tentunya adalah hal yang wajar bagi orang tua. Namun, terkadang karena terlalu fokusnya orangtua dalam terlibat dan melindungi anak-anaknya, mereka lupa akan hal yang sesungguhnya dibutuhkan oleh si anak sendiri dalam kehidpuan. Bahwa sesungguhnya setiap permasalahan yang dihadapi oleh sang anak merupakan bekal yang bisa menjadi pelajaran anak untuk bertahan hidup. Maka, seharusnya sebagai orang tua, kita harus memberikan ruang bagi anak untuk tumbuh dan mandiri dengan cara wajar tanpa terlalu banyak campur tangan yang justru dapat mengganggu.
Bagaimana menurut pendapat Anda? Setujukah Anda dengan metode Helicopter Parenting? Ataukah malah Anda telah menerapkan metode ini dalam parenting Anda?
Pingback: Parenting Bagi Anak | Anakku Harapanku Dunia Akhiratku